MUSAFIR
(Mohamad Sobari )
Bila perubahan-perubahan menyenangkan kuterima dengan syukur, apa yang tak menyenangkan pun harus kuterima dengan syukur.Mungkin hidup memang mengajari kita untuk selalu tulus menerima yang dtang , dan dengan tulus pula membiarkan apa yang pernah dating itu pergi lagi. Hidup bukan kita yang punya .
Aku memang ingin menjadi manusia merdeka . Dan berusaha menjaga kemerdekaan itu dengan damai dan merdeka pula. Kukira damai ini penting bagi hidup, karena apa artinya merdeka bila di dalamnya tak ada rasa damai?
Bila urusannya hanya menyangkut kepentingan pribadi , mengalah selalu lebih baik. Perlawanan terbaik adalah melawan dengan cara tak melawan . Aku senang dengan ajaran"the art of fighting without fighting": menarik diri dari sumber konflik.
Bila kebersahajaan dianggap pilihan moral, maka hidup menjadi sejenis ritus untuk melatih kepekaan jiwa. Di kampungku , hidup sederhana itu berlangsung bukan kami punya kemewahan nuntuk memilih . Hidup di sana di anggap seolah sudah jadi dan tinggal menjalani. Tiap peran sudah dibagi da ditentukan. Hidup bukan sekedar ritus dan eksperimen ilmiah dalam memilih dan menentukan peran social.
Dunia kecil yang tampak selalu ajeg , mapan ,dan statis itu ternyata dinamis dan terus berubah cepat , melampaui batas pemahaman dan impian-impianku yang sederhana. Aku sering terkejut , dan tak mengerti akan apa yang sebenarnya terjadi. Dan mungkin , pasa dasarnya hidup memang hanya semata untuk dijalani, tak harus dimengerti.
Di sini aku bekerja hanya untuk membikin dan mewujudkan kebaikan. Tapi kenyataan yang tak pernah kusadari, dalam tiap kebijakan, setulus dan semulia apa pun kenijakan itu, selalu saja ada celanya , dan selalu ada orang-orang yang merasa dirugikan, dan menilai diri sendiri korban kebijakan
Kalau berjuang di situ betul-betul demi ideology yang penting bagi orang banyak, maka mulialah mulutnya dan tindakannya. Tapi kalau kata"perjuangan"itu hanya untuk kepentingannya sendiri , jelaslah betapa nista dan memalukannya jiwa yang merasa sedang "berjuang"itu
Dalam beberapa hal , aku dan Ayah berbagi kesamaan-kesamaan. Kami sama-sama tak banyak bicara . Pengertian dan sikap saling memahami bukan diungkapkan dalam bahasa kata-kata, tapi dalam tindakan.
Dalam ghidup , Ibu menghendaki kepastian-kepastian. Ada satu hal yang jelas, bahwa baginya hidup ini tak akan pernah terlepas dari hokum ketulusan dan cinta.
Anak-anak nakal terlambat sholat dan berisik. Haji Thohir berkata :"Kenakalan mereka itu tanda kegagalan kita , karena kita belum mampu mengajarkan pada mereka ketertiban"
Lagi pula , mereka itu penguji kita. Kalau kita bisa meraih kekusyukan di tengah kebisingan mereka , kita bahagia. Sebaliknya , kalau kita masih terganggu , biarlah kita korbankan kekhusyukan kita , demi mendidik mereka siapa tahu kelak mereka menjadi orang-orang saleh , lebih dari kita. Para jamah menyimak dengan baik, dan aku pun tersentuh. Aku malu justru karena kami tak dimarahi..
Sedang Allah dan para malaikatNya pun bersalawat kepada Nabi. Mengapa aku tidak?
Ibadah pagi, ibadah siang , ibadah sore, malam, dan tengah malam, itu urusan rahasia kita dengan Tuha . Dan rahasia tak boleh disiarkan. Kalau kualitas ibadah kita rendah , kita malu. Kalau kualitasnya tinggi, apa bangganya , karena bukankah Tuhan Mahatinggi?
Dalam hidup , jangan terpesona pada kulit yang gemerlap. Kita hidup untuk meraih isi, biarpun itu sukat. Kita belajar sampai tua
Kadang-kadang , dalamkeruwetan , aku lupa pada prinsip bahwa hidup ini untuk dijalani, bukan untuk disesali dan dihitun-hitung untung-ruginya.
Dalam urusan kantor kukira yang dibutuhkan pertama-tama—adalah teladan. Beri orang lain teladan. Jangan banyak kata. Tapi perbanyak bukti tindakan mulia. Maka sebelum fasilitas dan segenap kenikmatan orang lain dikurangi , aku harus mengurangi fasilitasku sendiri. Kenikmatanku harus kukurangi.
Kalau kita menunda kesempatan, berarti kita akan dicampakan oleh kesempatan.
Hakikat kemewahan terletak di hati , dan bukan di warna atau merek mobil.
Menuntut sikap adil—juga terhadap diri sendiri—sangat penting.
Aku pemimpin dan kamu bukan. Tanggung jawab moral kita tak sama. Kelak, dalam mahkamah hari akhir , kau tak ditanya hal-hal yang ditanyakan padaku.
Apa yang baik dan adil, harus ada tempatnya . Dan kita yang mencarikannya.
Kiai Mus mengajarkan bahwa bila kita rajin salat atau berdoa dan membaca Kitab Suci di bawah pohon, pohon itu akan lebat buahnya. Dan itu benar.
Aku sengaja membiarkannya untuk membuka mata semua pihak bahwa bekerja itu bukan berarti cuma omong bebas dan serba muluk serta idiil. Ini penting untuk menjadi pembelajaran bagi banyak pihak bahwa bicara keras lebih mudah dari pada bekerja keras. Aku berharap ada orang yang suka menimbang-nimbang kembali sikapnya , dan mengakui bahwa ternyata mereka salah.
Aku hanya ingin mengajak mereka belajar bertanggung jawab terhadap diri sendiri. Di bidang apapun tak ada orang yang bisa meraih kematangan professional bila bekerja hanya dengan semangat seadanya.
Aku mengajak berpikir dalam logika bisnis . Mereka menerima gaji sejumlah-anggaplah – seratus. Harus kutanya , berapa nilai kerja dan sumbangan mereka pada lembaga? Kalau kau digaji seratus dan menghasilkan seratus juga , berarti kau hanya sekrup yang tak begitu penting . Kalau kau dilepas , mesin tetap jalan. Kalau di situ , kau hanya bikin mesin agak berisik, karena dirimu sekrup kendur sekali.
Sebaliknya , kalau kau dibayar seratus dan menghasilkan seratus lima , kau sekrup yang baik dan kuat , tapi belum cukup meyakinkan untuk terus-menerus dipasang. Kalau kau dibayar seratus dan menghasilkan seratus lima puluh hingga dua ratus, maka kau mesin , bukan lagi sekrup. Dan sebagai mesin kau sangat dibutuhkan. Kau bagian dari nyawa organisasi. Dan kalau kau dibayar seratus tapi menghasilkan dibawah itu – orang seperti ini jumlahnya sangat banyak di berbagai bagian- maka kau benalu yang mengajak kita rontok berantakan. Dengan begitu secara rasional , dalam logika bisnis ,mereka inilah yang harus dibuang, tanpa penundaan. Tapi mereka tak mau dibuang . Lagi pula kami tak memiliki uang cukup untuk memberi pesangon mereka. Maka bergulirlah roda kantorku dengan gerak terseok-seok dimuati"beban-beban" masa lalu.
Uang itu bukan hak istimewa melainkan lambing penghargaan prestasi.
Orang butuh ditegur, butuh diawasi, butuh diajak sekedar bicara atau bahkan sekedar senyum
Loyalitas harus diberikan kepada kantor. Orang harus loyal pada cita-cita bersama, dan bukan pada seseorang yang sedang memegang jabatan lebih tinggi. Di mana-mana kita sudah salah menempatkan orientasi sosialkita, sehingga loyalitas kita berikan kepada para atasan.
Aku mencatat bahwa mereka yang gigih meminta jabatan rata-rata hanya pandai berkata-kata, pandai menuding kesalahan orang lain, pandai meyakinkan bahwa pihak lain tidak tepat dalam posisinya, tapi dia sendiri , sebagai orang kantoran, komitmen dan kualitas kerjanya kurang membahagiakan. Jika secara lebih dalam ditelusuri, ia secara moral agak payah, Jadi dari segi apapun kita menilainya , harganya tak begitu tinggi.
Jabatan bukan hadiah yang bisa diminta begitu saja.
Cara taktis memberhentikan orang yang salah;
"Suruh dia memilih sendiri . Mundur dengan, dengan harga diri, dengan harapan masih bisa mencari pekerjaan lain. Atau , terpaksa sekali dilaporkan ke polisi, diproses , dan itu membuatnya malu, kemudian dihukum oleh pengadilan, dan akhirnya dipecat juga."
Kebaikan tak harus sangat besar dan luar biasa. Kebaikan kecil pun selalu punya arti. Apa yang tampak besar , dulu dimulai dari yang kecil-kecil. Hidup menuntut kebaikan-kebaikan kecildari kita, biarpun hanya dalam ukuran serba kecil. Kewajiban berbuat baik itu hanya sebatas kemampuan kita
Kita berbuat baik, berpikir baik, berprasangka baik, supaya kebaikan-kebaikan beranak pinak dalam hidup kita yang sementara. Kebaikan-kebaikan manusia membuat dunia menjadi baik.
Lama kami berbicara di ruang tamunya yang sejuk. Aku percaya jiwa tuan rumah mempengaruhi keteduhan rumahnya. Mereka yang hidup dalam doa dan kebersihan hati ,serta berbuat apa saja dengan hati dan niat bersih, terasa penaruhnya dalam pergaulan social seperti ini. Rohani itu energi baik yang merayap kemana-mana dan memberi kita rasa damai.
Tiap orang punya panggilan hati dan tugasnya sendiri-sendiri. Tak perlu sampeyan jadi rohaniawan.
Hidup ini penuh lelucon. Tapi kita sering tak memililki telinga yang cukup baik untuk menangkapnya. Kita pun mungkin tak cukup punya kejernihan hati yang bisa merasakan secara lembut aneka macam humor yang dating tiap saat..
Banyak orang yang merasa tak memiliki masa depan, dan satu-satunya milik mereka yang sudah pasti hanyalah masa lalu. Maka mereka pun "mengelus-elus"masa lalu itu sebagai benda pusaka . Dan apakah aku sudah seperti mereka?
Dalam diri manusia modern ada sejenis rasa bangga tersembunyi bila tak kalah dengan sesame karena ia juga memiliki apa yang sedang dijual di toko-toko terkemuka di kotanya. Dan akhirnya , banyak barang yang dibeli dan tak ketahuan apa gunanya. Kita diminta tak memubazirkan berkah dari langit.
Dan murah hatilah pada semua yang di bumi, aga kita dimurahi mereka yang di langit
Bersikap apa adanya, di masyarakat beradap, ternyata menjadi masalah. Orang harus bisa ceria ,supel, dan tangkas mendatangkan mendatangkan tema-tema diskusi yang membikin pihak lain ceria , supaya aku kelihatan beradap.
Cinta bukan hanya berarti never having to say sorry. Cinta juga bukan meminta , bukann penguasaan, bukan pula penaklukan, melainkan penyerahan, uyang dalam tradisi kuno, di mana-mana, tampil dalam bentuk pengorbanan sejati.
Melayani Tuhan alangkah mudahnya. Tapi betapa ruwet melayani manusia . Dan itulah pelayanan yang lebih sejati.
Tak mudah bicara tentang ketulusan dengan orang-orang yang tak pernah tulus. Meskipun begitu kita harus tetap tulus menerima keadaan. Lagi pula , jangan-jangan kita pun tak tulus , ketika omongan dibuktikan melalui apa yang kita amalkan. Dalam politik di mana perjuangan memenangkan kepentingan masih berlangsung , kita tampaknya tak bisa bicara tentang ketulusan.
Apa yang secara hakiki sudah sangat jelas pun dalam bahasa hokum masih tidak jelas, karena hokum hanya bicara perkara bukti dan tanda-tanda yang kasatmata. Hukum selalu buta,bisu,dan tuli, menghadapi apa yang adil dan tak adil ,karena hokum tak punya hati.
Perkara fitnah.
Surat An-Nuur ayat 11 : Janganlah kamu kira berita bohong itu buruk bagi kamu, bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap –tiap seorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya . Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar ddalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar.
Ayat 19: Sesungguhnya orang-orang yan ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat.
Ayat 26: Mereka (yang dituduh) ityu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh) itu. Bagi mereka Ini semua merupakan godaan yang sangat dilematis, yang membuatku ampunan dan rezeki yang mulia ( surga ).
Terhadap orang-orang yang sudah terlanjur dikenai sanksi karena jelas melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan kantor, kukira memang sudah sangat bijaksana dan aku tak mengenal ampun. Memang kasihan, karena pada umumnya yang menyimpang dan memperoleh sanksi keras itu kedudukannya rendah, gajinya kecil, dan tanggung jawabnya besar dalamkeluarga .
terombanganbing tiap saatTapi aku tak mau hidup dalam keterombang-ambingan macam itu
terombanganbing tiap saatTapi aku tak mau hidup dalam keterombang-ambingan macam itu
terombanganbing tiap saatTapi aku tak mau hidup dalam keterombang-ambingan macam itu
Mengampuni mereka merupakan dosa dan melawan rasa keadilan. Kepada mereka ampunan tak diberikan.
Orang Cina Kuno berkata, " di atas langit ada langit" Ini cermin kesadaran- tapi mungkin juga kekaguman – terhadap kenyataan hidup yang memiliki begitu banyak sisi tak terhingga. Dan sering penuh kejutan.
Allah dengan kekuasaanNya , telah menjadikan langit sebagai atap yang melengkung di atas bumi, atap maha raksasa yang tak membutuhkan tiang sama sekali. Bulan , bintang, dan matahari bergayut tanpa cantelan, tapi semuanya aman dan terpelifhara baik, karena benda-benda langit itu tunduk, patuh dan taat pada Allah yang menciptakannya dengan kodrat dan iradatnya.
Aku juga menjaga baik-baik agar dalam perjalanan mendaki itu keluar masuknya nafas tetap selembut mungkin seperti ketika berjalan biasa di dataran rata . Nafas tak boleh terdengar ngos-ngosan, menghamburkan tenaga dan membuat cepat lelah. Dulu aku dilatih mempraktikkan metode bernafas lembut secara teratur, dan diberitahu bahwa di balik nafas lembut ada cadangan tenaga tak terkira besarnya. Ini penting untuk kesehatan.
Sesekali membebaskan diri dari perbudakan nafsu perut banyak manfaatnya . Biarlah perut beristirahat dari kegiatan menggiling makanan. Dalam puasa-juga puasa-puasa di luar bulan suci Ramadhan-perut kita kosong, dan perut kosong itulah yang kelak- dalam ungkapan metaforis kaum sufi-bakal mengetuk pintu sorga yang penuh damai.
Apa sebenarnya yang kucaari dalam hidup ini? Pangkat?Jabatan? Simbol kemakmuran duniawi? Popularitas? Atau idealisme?
Aku takut sebenarnya aku hanya mengejar kemunafikanku sendiri dan mengelus-elusnya siang malam?
Aku mungkin hanya musafir iseng tak punya tujuan? Dan sekali lagi, apa yang kucari? Aku terpenjara oleh kantor, oleh keluarga, oleh orang tua dan mertua, oleh istri dan anak-anak?Tapi siapa bilang aku tak terpenjara oleh nafsuku sendiri, dan kecenderungan-kecenderungan sok mengejar apa yang abadi, tapi tak sadar telah kandasdi atas segala yang fana?
Di dalam diri kita sendiri ada begitu banyak tipuan dan motif tersembunyi, yang mungkin jarang sekali kita kenali. Dan karena itu , kita selalu bikin kejutan dan keheranan: ketika menjabat posisi tinggi , kita lupa diri, lupa teman, tempat dulu kita bergayut dan "menitipkan" ketidakpastian hidup masa depan.
Betapa percuma ajaran semua guru rohani, kalau hidup hanya memuja yang serba duniawi.
Anakku, kalau pada saat kau memohon , kau dihalangi pintu tertutup, pindahlah ke pintu lain. Di sana niscaya lama-lama ada pintu terbuka.
Kekuatan cinta dan rasa rindu yang tak palsu bisa membuka pintu itu. Dan aku percaya , bila perut kosong selama puasa bisa mengetuk pintu sorga , mengapa mustahil cinta dan rindu membuat pintu tertutup menjadi terbuka?
Adil itu urusan hati. Maka bila di kantor, kutanyakan perkara pelik ini pada hati: apakah aku mengambil kebijakan atau memutuskan dengan kata hati, atau dengan pijakan yang lain?
Tagore: mengapa kita menangisi apa yang dulu kita terima dengan sukacita, dan mengapa pula terkadang kita tertawa menghadapi kembali apa yang dulu kita terima dengan dukacita?
Karena itu , mungkin , hidup bukan perkara suka maupun duka. Maka kuampunilah mereka- siapa pun mereka itu-yang dulu pernah membuat aku berduka cita. Dan kucatat kembali nama-nama yang dulu membuat aku bersukaria, agar aku tak pernah lupa pada jasa sesama.
Ringkasnya , selama aku masih harus melintasi ruang dan waktu yang bukan bagian dariku, sang musafir belum bisa menemukan- dan mungkin tak harus bisa menemukan-apa yang dicarinya.
Dan hanya kesia-siaan. Hidup hanya menunda kekalahan, sebelum akhirnya menyerah, seperti kata penyair Chairil Anwar.
Sekian